Senin, 12 Desember 2016

Rumus dan Rangkaian Pembagi Tegangan (Voltage Divider)

Rumus dan Rangkaian Pembagi Tegangan (Voltage Divider) – Voltage Divider atau Pembagi Tegangan adalah suatu rangkaian sederhana yang mengubah tegangan besar menjadi tegangan yang lebih kecil. Fungsi dari Pembagi Tegangan ini di Rangkaian Elektronika adalah untuk membagi Tegangan Input menjadi satu atau beberapa Tegangan Output yang diperlukan oleh Komponen lainnya didalam Rangkaian. Hanya dengan menggunakan dua buah Resistor atau lebih dan Tegangan Input, kita telah mampu membuat sebuah rangkaian pembagi tegangan yang sederhana.
Pengetahuan Pembagi Tegangan atau Voltage Divider ini sangat penting dan merupakan rangkaian dasar yang harus dimengerti oleh setiap Engineer ataupun para penghobi Elektronika.
Terdapat dua bagian penting dalam merancang Pembagi Tegangan yaitu Rangkaian dan Persamaan Pembagi Tegangan.

Rangkaian Pembagi Tegangan (Voltage Divider)

Pada dasarnya, Rangkaian Pembagi Tegangan terdiri dari dua buah resistor yang dirangkai secara Seri. Berikut ini adalah rangkaian sederhana sebuah pembagi tegangan atau Voltage Divider.
Rumus dan Rangkaian Pembagi Tegangan (Voltage Divider)

Rumus/Persamaan Pembagi Tegangan (Voltage Divider)

Aturan Pembagi Tegangan sangat sederhana, yaitu Tegangan Input dibagi secara proporsional sesuai dengan nilai resistansi dua resistor yang dirangkai Seri.
Vout = Vin x (R/ (R1+R2))

Contoh Kasus Perhitungan Rangkaian Pembagi Tegangan

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus perhitungan pada Rangkaian Pembagi Tegangan sehingga kita mendapat tegangan yang diinginkan saat merancang sebuah rangkaian elektronika.

Contoh Kasus 1

Sebagai contoh, kita memberikan tegangan input sebesar 9V pada rangkaian pembagi tegangan tersebut dengan nilai R1 adalah 1000 Ohm dan R2 adalah 220 Ohm berapakah Tegangan Output pada R1 yang kita dapatkan ?
Diketahui :
Vin = 9V
R1 = 1000 Ohm
R2 = 220 Ohm
Vout = ?
Penyelesaian :
Vout = Vin x (R1 / (R1+R2))
Vout = 9 x (1000/(1000+220))
Vout = 9 x (1000/1220)
Vout = 9 x 0.82
Vout = 7,38 Volt
Jadi Tegangan Output dari rangkaian Pembagi tersebut adalah 7,38 Volt.

Contoh Kasus 2

Pada saat kita merancang suatu rangkaian Elektronika, kita ingin mendapat tegangan 2,5V dari tegangan Input 9V dengan menggunakan rangkaian dasar Pembagi Tegangan. Berapakah nilai R1 dan R2 yang kita perlukan untuk mendapatkan tegangan yang kita inginkan?
Diketahui :
Vin = 9V
Vout = 2,5V
R1 = ?
R2 = ?
Penyelesaian :
Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menentukan Total nilai R yang diinginkan, contoh 1000 Ohm atau R = R1 + R2 = 1000 Ohm. Perlu diketahui bahwa Rasio R1:R adalah sama dengan Rasio V1:V. Dalam kasus ini, V1 = 2,5V, jadi V1:V = 2,5V/9V= 0,28. Oleh karena itu, perbandingan rasio R1:R juga harus 0,28. Karena total nilai R yang kita tentukan adalah 1000 Ohm maka perbandingannya juga harus R1/1000=0,28. Hasilnya, R1=280Ohm. Untuk mendapatkan nilai R2, cukup dengan melakukan pengurangan yaitu 1000 Ohm – 280 Ohm = 720 Ohm.
Jadi Nilai R1 dan R2 yang diperlukan adalah :
R1 = 280 Ohm
R2 = 720 Ohm

Fungsi Transistor dan Cara Mengukurnya


Fungsi Transistor dan Cara Mengukurnya
Fungsi Transistor dan Cara Mengukurnya – Transistor merupakan salah satu Komponen Elektronika Aktif yang paling sering digunakan dalam rangkaian Elektronika, baik rangkaian Elektronika yang paling sederhana maupun rangkaian Elektronika yang rumit dan kompleks. Transistor pada umumnya terbuat dari bahan semikonduktor seperti Germanium, Silikon, dan Gallium Arsenide. Secara umum, Transistor dapat dibagi menjadi 2 kelompok Jenis yaitu Transistor Bipolar (BJT) dan Field Effect Transistor (FET).

Fungsi Transistor

Fungsi-fungsi Transistor diantaranya adalah :
  • sebagai Penyearah,
  • sebagai Penguat tegangan dan daya,
  • sebagai Stabilisasi tegangan,
  • sebagai Mixer,
  • sebagai Osilator
  • sebagai Switch (Pemutus dan Penyambung Sirkuit)

Struktur Dasar Transistor

Pada dasarnya, Transistor adalah Komponen Elektronika yang terdiri dari 3 Lapisan Semikonduktor dan memiliki 3 Terminal (kaki) yaitu Terminal Emitor yang disingkat dengan huruf “E”, Terminal Base (Basis) yang disingkat dengan huruf “B” serta Terminal Collector/Kolektor yang disingkat dengan huruf “C”. Berdasarkan strukturnya, Transistor sebenarnya merupakan gabungan dari sambungan 2 dioda. Dari gabungan tersebut , Transistor kemudian dibagi menjadi 2 tipe yaitu Transistor tipe NPN dan Transistor tipe PNP yang disebut juga dengan Transistor Bipolar. Dikatakan Bipolar karena memiliki 2 polaritas dalam membawa arus listrik.
NPN merupakan singkatan dari Negatif-Positif-Negatif sedangkan PNP adalah singkatan dari Positif-Negatif-Positif.
Berikut ini adalah gambar tipe Transistor berdasarkan Lapisan Semikonduktor yang membentuknya beserta simbol Transistor NPN dan PNP.
Tipe Transistor NPN dan PNP beserta simbolnya

Cara Mengukur Transistor

Kita dapat menggunakan Multimeter Analog maupun Multimeter Digital untuk mengukur ataupun menguji apakah sebuah Transistor masih dalam kondisi yang baik. Perlu diingatkan bahwa terdapat perbedaan tata letak Polaritas (Merah dan Hitam) Probe Multimeter Analog dan Multimeter Digital dalam mengukur/menguji sebuah Transistor.
Berikut ini adalah Cara untuk menguji atau mengukur Transistor dengan Mengunakan Multimeter Analog dan Multimeter Digital.

A. Mengukur Transistor dengan Multimeter Analog

Cara mengukur Transistor dengan Multimeter Analog
Cara Mengukur Transistor PNP dengan Multimeter Analog
  1. Atur Posisi Saklar pada Posisi OHM (Ω) x1k atau x10k
  2. Hubungkan Probe Merah pada Terminal Basis (B) dan Probe Hitam pada Terminal Emitor (E), Jika jarum bergerak ke kanan menunjukan nilai tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik
  3. Pindahkan Probe Hitam pada Terminal Kolektor (C), jika jarum bergerak ke kanan menunjukan nilai tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik.
Cara Mengukur Transistor NPN dengan Multimeter Analog
  1. Atur Posisi Saklar pada Posisi OHM (Ω) x1k atau x10k
  2. Hubungkan Probe Hitam pada Terminal Basis (B) dan Probe Merah pada Terminal Emitor (E), Jika jarum bergerak ke kanan menunjukan nilai tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik
  3. Pindahkan Probe Merah pada Terminal Kolektor (C), jika jarum bergerak ke kanan menunjukan nilai tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik.
Catatan :
Jika Tata letak Probe dibalikan dari cara yang disebutkan diatas, maka Jarum pada Multimeter Analog harus tidak akan bergerak sama sekali atau “Open”.

B. Mengukur Transistor dengan Multimeter Digital

Pada umumnya, Multimeter Digital memiliki fungsi mengukur Dioda dan Resistansi (Ohm) dalam Saklar yang sama. Maka untuk Multimeter Digital jenis ini, Pengujian Multimeter adalah terbalik dengan Cara Menguji Transistor dengan Menggunakan Multimeter Analog.
Cara Mengukur Transistor dengan Multimeter Digital
Cara Mengukur Transistor PNP dengan Multimeter Digital
  1. Atur Posisi Saklar pada Posisi Dioda
  2. Hubungkan Probe Hitam pada Terminal Basis (B) dan Probe Merah pada Terminal Emitor (E), Jika Display Multimeter menunjukan nilai Voltage tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik
  3. Pindahkan Probe Merah pada Terminal Kolektor (C), jika Display Multimeter nilai Voltage tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik.
Cara Mengukur Transistor NPN dengan Multimeter Digital
  1. Atur Posisi Saklar pada Posisi Dioda
  2. Hubungkan Probe Merah pada Terminal Basis (B) dan Probe Hitam pada Terminal Emitor (E), Jika Display Multimeter menunjukan nilai Voltage tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik
  3. Pindahkan Probe Hitam pada Terminal Kolektor (C), jika Display Multimeter menunjukan nilai Voltage tertentu, berarti Transistor tersebut dalam kondisi baik.
Catatan :
Jika Tata letak Probe dibalikan dari cara yang disebutkan diatas, maka Display Multimeter Digital harus tidak akan menunjukan Nilai Voltage atau “Open”

Cara Menghitung Nilai Resistor


Cara Menghitung Nilai ResistorCara Membaca Nilai Resistor – Resistor merupakan komponen penting dan sering dijumpai dalam sirkuit Elektronik. Boleh dikatakan hampir setiap sirkuit Elektronik pasti ada Resistor. Tetapi banyak diantara kita yang bekerja di perusahaan perakitan Elektronik maupun yang menggunakan peralatan Elektronik tersebut tidak mengetahui cara membaca kode warna ataupun kode angka yang ada ditubuh Resistor itu sendiri.
Berdasarkan bentuknya dan proses pemasangannya pada PCB, Resistor terdiri 2 bentuk yaitu bentuk Komponen Axial/Radial dan Komponen Chip. Untuk bentuk Komponen Axial/Radial, nilai resistor diwakili oleh kode warna sehingga kita harus mengetahui cara membaca dan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam warna tersebut sedangkan untuk komponen chip, nilainya diwakili oleh Kode tertentu sehingga lebih mudah dalam membacanya.
Kita juga bisa mengetahui nilai suatu Resistor dengan cara menggunakan alat pengukur Ohm Meter atau MultiMeter. Satuan nilai Resistor adalah Ohm (Ω).

Cara menghitung nilai Resistor berdasarkan Kode Warna

Seperti yang dikatakan sebelumnya, nilai Resistor yang berbentuk Axial adalah diwakili oleh Warna-warna yang terdapat di tubuh (body) Resistor itu sendiri dalam bentuk Gelang. Umumnya terdapat 4 Gelang di tubuh Resistor, tetapi ada juga yang 5 Gelang.
Gelang warna Emas dan Perak biasanya terletak agak jauh dari gelang warna lainnya sebagai tanda gelang terakhir. Gelang Terakhirnya ini juga merupakan nilai toleransi pada nilai Resistor yang bersangkutan.
Tabel dibawah ini adalah warna-warna yang terdapat di Tubuh Resistor :
Tabel Kode Warna Resistor

Perhitungan untuk Resistor dengan 4 Gelang warna :

Cara menghitung nilai resistor 4 gelang
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-1 (pertama)
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-2
Masukkan Jumlah nol dari kode warna Gelang ke-3 atau pangkatkan angka tersebut dengan 10 (10n)
Merupakan Toleransi dari nilai Resistor tersebut
Contoh :
Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 4 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 10 * 105 = 1.000.000 Ohm atau 1 MOhm dengan toleransi 10%.

Perhitungan untuk Resistor dengan 5 Gelang warna :

Cara Menghitung Nilai Resistor 5 Gelang Warna
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-1 (pertama)
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-2
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-3
Masukkan Jumlah nol dari kode warna Gelang ke-4 atau pangkatkan angka tersebut dengan 10 (10n)
Merupakan Toleransi dari nilai Resistor tersebut
Contoh :
Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5
Gelang ke 4 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 5 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 105 * 105 = 10.500.000 Ohm atau 10,5 MOhm dengan toleransi 10%.

Contoh-contoh perhitungan lainnya :
Merah, Merah, Merah, Emas → 22 * 10² = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm dengan 5% toleransi
Kuning, Ungu, Orange, Perak → 47 * 10³ = 47.000 Ohm atau 47 Kilo Ohm dengan 10% toleransi
Cara menghitung Toleransi :
2.200 Ohm dengan Toleransi 5% =
2200 – 5% = 2.090
2200 + 5% = 2.310
ini artinya nilai Resistor tersebut akan berkisar antara 2.090 Ohm ~ 2.310 Ohm
Untuk mempermudah menghafalkan warna di Resistor, kami memakai singkatan seperti berikut :
HI CO ME O KU JAU BI UNG A PU
(HItam, COklat, MErah, Orange, KUning. HiJAU, BIru, UNGu, Abu-abu, PUtih)

Cara menghitung nilai Resistor berdasarkan Kode Angka :

Membaca nilai Resistor yang berbentuk komponen Chip lebih mudah dari Komponen Axial, karena tidak menggunakan kode warna sebagai pengganti nilainya. Kode yang digunakan oleh Resistor yang berbentuk Komponen Chip menggunakan Kode Angka langsung jadi sangat mudah dibaca atau disebut dengan Body Code Resistor (Kode Tubuh Resistor)
Resistor Chip
Contoh :
Kode Angka yang tertulis di badan Komponen Chip Resistor adalah 4 7 3;
Cara pembacaannya adalah :
Masukkan Angka ke-1 langsung = 4
Masukkan Angka ke-2 langsung = 7
Masukkan Jumlah nol dari Angka ke 3 = 000 (3 nol) atau kalikan dengan 10³
Maka nilainya adalah 47.000 Ohm atau 47 kilo Ohm (47 kOhm)

Contoh-contoh perhitungan lainnya :
222 → 22 * 10² = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm
103 → 10 * 10³ = 10.000 Ohm atau 10 Kilo Ohm
334 → 33 * 104 = 330.000 Ohm atau 330 Kilo Ohm

Ada juga yang memakai kode angka seperti dibawah ini :
(Tulisan R menandakan letaknya koma decimal)
4R7 = 4,7 Ohm
0R22 = 0,22 Ohm
Keterangan :
Ohm = Ω
Kilo Ohm = KΩ
Mega Ohm = MΩ
1.000 Ohm = 1 kilo Ohm (1 KΩ )
1.000.000 Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)
1.000 kilo Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)

Pengertian DIAC dan Cara Kerjanya

Pengertian DIAC dan Cara Kerjanya – Diode Alternating Current atau sering disingkat dengan DIAC adalah komponen aktif Elektronika yang memiliki dua terminal dan dapat menghantarkan arus listrik dari kedua arah jika tegangan melampui batas breakover-nya. DIAC merupakan anggota dari keluarga Thyristor, namun berbeda dengan Thyristor pada umumnya yang hanya menghantarkan arus listrik dari satu arah, DIAC memiliki fungsi yang dapat menghantarkan arus listrik dari kedua arahnya atau biasanya disebut juga dengan “Bidirectional Thyristor”.
DIAC biasanya digunakan sebagai Pembantu untuk memicu TRIAC dalam rangkaian AC Switch, DIAC juga sering digunakan dalam berbagai rangkaian seperti rangkaian lampu dimmer (peredup) dan rangkaian starter untuk lampu neon (florescent lamps).
Baca juga : Pengertian TRIAC dan Aplikasinya.

Struktur Dasar dan Simbol DIAC

Ditinjau dari segi strukturnya, DIAC terdiri dari 3 lapis semikonduktor yang hampir mirip dengan sebuah Transistor PNP. Berbeda dengan Transistor PNP yang lapisan N-nya dibuat dengan tipis agar elektron mudah melewati lapisan N ini, Lapisan N pada DIAC dibuat cukup tebal agar elektron lebih sulit untuk menembusnya terkecuali tegangan yang diberikan ke DIAC tersebut melebihi batas Breakover (VBO) yang ditentukannya. Dengan memberikan tegangan yang melebihi batas Breakovernya, DIAC akan dapat dengan mudah menghantarkan arus listrik dari arah yang bersangkutan. Kedua Terminal DIAC biasanya dilambangkan dengan A1 (Anoda 1) dan A2 (Anoda 2) atau MT1 (Main Terminal 1) dan MT2 (Main Terminal 2).
Gambar dan Struktur dasar DIAC serta simbolnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Pengertian DIAC dan cara kerja DIAC, simbol DIAC, struktur DIAC

Cara Kerja DIAC

Seperti yang disebutkan, DIAC merupakan komponen yang dapat menghantarkan arus listrik dari dua arah jika diberikan tegangan yang melebih batas Breakovernya. Pada prinsipnya, DIAC memiliki cara kerja yang mirip dengan dua Dioda yang dipasang paralel berlawanan seperti gambar Rangkaian Ekuivalen diatas.
Apabila tegangan yang memiliki polaritas diberikan ke DIAC, dioda yang disebelah kiri akan menghantarkan arus listrik jika tegangan positif yang diberikan melebihi tegangan breakover DIAC. Sebaliknya, apabila DIAC diberikan tegangan positif yang melebih tegangan breakover DIAC dari arah yang berlawanan, maka dioda sebelah kanan akan menghantarkan arus listrik.
Setelah DIAC dijadikan ke kondisi “ON” dengan menggunakan tegangan positif ataupun negatif, DIAC akan terus menghantarkan arus listrik sampai tegangannya dikurangi hingga 0 (Nol) atau hubungan pemberian listrik diputuskan.

Pengertian Electrical Waveform (Bentuk Gelombang Listrik) dan Jenis-jenisnya

pengertian Electrical Waveform (Bentuk Gelombang Listrik) dan Jenis-jenisnya – Electrical Waveform atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Bentuk Gelombang Listrik merupakan bagian dari Gelombang Elektromagnetik yang tidak memiliki bentuk fisik. Untuk mempermudah melihat bentuk gelombang tersebut, kita perlu peralatan khusus seperti Osiloskop untuk mem-visualisasikannya. Selain itu, kita juga dapat menggambarkannya ke kertas grafik dengan menghubung setiap perubahan titik plot tegangan pada suatu periode waktu tertentu. Secara Teknik, Bentuk Gelombang Listrik (Electrical Waveform) ini adalah representasi visual dari perubahaan tegangan atau arus terhadap waktu.
Dibawah ini akan dijelaskan secara singkat Klasifikasi dan Jenis-jenis bentuk gelombang listrik. Namun apapun klasifikasi dan jenisnya, semua Electrical Waveform atau Bentuk Gelombang Listrik ini memiliki 3 karakteristik umum  sebagai berikut :
  1. Periodik (Period) adalah waktu yang dibutuhkan untuk menempuh 1 kali getaran atau waktu yang dibutuhkan pada 1 siklus gelombang bolak-balik, biasanya dilambangkan dengan t dengan satuan detik (second).
  2. Frekuensi (Frequency) adalah sejumlah getaran yang dihasilkan selama 1 detik (f=1/t), satuan frekuensi adalah Hertz.
  3. Amplitudo (Amplitude) adalah simpangan terjauh yang diukur dari titik keseimbangan dalam suatu getaran. Satuan unitnya adalah Volt.

Klasifikasi Bentuk Gelombang Listrik (Electrical Waveform)

Secara garis besar, Bentuk Gelombang Listrik atau Electrical Waveform dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar yaitu Uni-directional Waveform dan Bi-directional Waveform.

a. Uni-directional Waveform

Uni-directional Waveform ini adalah bentuk gelombang yang selalu berada pada wilayah Positif ataupun Negatif dan tidak ada akan memotong titik sumbu nol.  Contoh Uni-directional Waveform ini adalah Square Wave Waveform (Bentuk Gelombang Kotak) untuk Sinyal Pewaktu (Timing), Sinyal Pulsa Jam (Clock Pulse) dan Sinyal Pemicu (Trigger).

b. Bi-directional Waveform

Bi-directional Waveform ini adalah bentuk gelombang yang bergantian bolak-balik dari Positif ke Negatif dan Negatif ke Positif dengan melintasi titik sumbu Nol. Oleh karena itu, Bi-directional Waveform sering disebut dengan bentuk gelombang bolak-balik (Alternating Waveform). Bentuk Gelombang Bi-directional Waveform yang paling umum adalah Bentuk Gelombang Sinus (Sine Waveform).

Jenis-jenis Bentuk Gelombang Listrik (Electrical Waveform)

Berikut ini adalah lima jenis Bentuk Gelombang yang paling sering ditemukan pada rangkaian Elektronika ataupun Listrik.
Pengertian Electrical Waveform (Bentuk Gelombang Listrik) dan Jenis-jenisnya

1. Bentuk Gelombang Sinus (Sine Waveform)

Bentuk Gelombang Sinus atau Sine Waveform atau juga disebut dengan Sinusoida Waveform adalah salah satu bentuk gelombang yang paling umum ditemukan di rangkaian Elektronika terutama pada sinyal-sinyal Analog seperti sinyal Audio, sinyal tegangan AC dan sinyal RF. Bentuk Gelombang Sinus dapat kita lihat seperti gambar diatas (a).

2. Bentuk Gelombang Kotak (Square Waveform)

Seperti namanya, Bentuk Gelombang Kotak atau Square Waveform ini memiliki bentuk seperti Kotak dan umumnya digunakan pada rangkaian mikro elektronik untuk pengendalian waktu (timing control). Hal ini dikarenakan Square Waveform memiliki bentuk gelombang simetris dengan durasi yang sama pada siklus setengah kotak dengan setengah kotak lainnya (memiliki interval yang teratur). Bentuk Gelombang Kotak (Square Waveform dapat dilihat dari gambar diatas (b).

3. Bentuk Gelombang Persegi (Rectanguler Waveform)

Bentuk Gelombang Persegi atau Rectanguler memiliki bentuk yang hampir sama dengan bentuk gelombang kotak. Namun Interval waktu kondisi High dan Low tidak teratur atau tidak memiliki panjang waktu yang sama. Bentuk Gelombang Persegi dapat dilihat pada gambar diatas (c).

4. Bentuk Gelombang Gigi Gergaji (Saw Tooth Waveform)

Bentuk Gelombang Gigi Gergaji atau Saw Tooth Waveform adalah gelombang yang berbentuk seperti gigi gergaji. Pada Bentuk Gelombang Gigi Gergaji ini, tegangan naik secara linear dari titik 0 hinggi titik mencapai titik tertinggi (+V) kemudian jatuh secara tiba-tiba ke titik terendahnya (0) tanpa atau pewaktuan. Gelombang Gigi Gergaji ini digunakan pada Rangkaian Televisi terutama pada TV yang masih menggunakan tabung CRT dan juga sebagai Pemicu (Trigger) pada rangkaian Digital. Bentuk Gelombang Gigi Gergaji (Saw Tooth Waveform) dapat dilihat pada gambar (d) diatas.

5. Bentuk Gelombang Segitiga (Triangular Waveform)

Triangular Waveform atau Bentuk Gelombang Segitiga adalah Gelombang yang berbentuk Segitiga. Tegangan naik secara linear dari Nol (0V) hingga mencapai titik tertingginya (+V). Tegangan Tertinggi tersebut hanya bertahan pada waktu yang sangat singkat pada puncaknya (berbentuk lancip) kemudian turun secara linear hingga mencapai titik terendahnya (-V). Di titik terendah, tegangan tersebut juga berada dalam waktu yang sangat singkat sekali sehingga membentuk kurva lancip. Bentuk Gelombang Segitiga atau Triangular Waveform dapat dilihat pada gambar diatas (e).

Cara Menggunakan Multimeter / Multitester

Multimeter Digital dan Multimeter Analog
Cara Menggunakan Multimeter – Multimeter adalah alat yang berfungsi untuk mengukur Voltage (Tegangan), Ampere (Arus Listrik), dan Ohm (Hambatan/resistansi) dalam satu unit. Multimeter sering disebut juga dengan istilah Multitester atau AVOMeter (singkatan dari Ampere Volt Ohm Meter). Terdapat 2 jenis Multimeter dalam menampilkan hasil pengukurannya yaitu Analog Multimeter (AMM) dan Digital Multimeter (DMM).
Sehubungan dengan tuntutan akan keakurasian nilai pengukuran dan kemudahan pemakaiannya serta didukung dengan harga yang semakin terjangkau, Digital Multimeter (DMM) menjadi lebih populer dan lebih banyak dipergunakan oleh para Teknisi Elektronika ataupun penghobi Elektronika.
Dengan perkembangan teknologi, kini sebuah Multimeter atau Multitester tidak hanya dapat mengukur Ampere, Voltage dan Ohm atau disingkat dengan AVO, tetapi dapat juga mengukur Kapasitansi, Frekuensi dan Induksi dalam satu unit (terutama pada Multimeter Digital). Beberapa kemampuan pengukuran Multimeter yang banyak terdapat di pasaran antara lain :
  • Voltage (Tegangan) AC dan DC satuan pengukuran Volt
  • Current (Arus Listrik) satuan pengukuran Ampere
  • Resistance (Hambatan) satuan pengukuran Ohm
  • Capacitance (Kapasitansi) satuan pengukuran Farad
  • Frequency (Frekuensi) satuan pengukuran Hertz
  • Inductance (Induktansi) satuan pengukuran Henry
  • Pengukuran atau Pengujian Dioda
  • Pengukuran atau Pengujian Transistor

Bagian-bagian penting Multimeter

Multimeter atau multitester pada umumnya terdiri dari 3 bagian penting, diantanya adalah :
  1. Display
  2. Saklar Selektor
  3. Probe
Gambar dibawah ini adalah bentuk Multimeter Analog dan Multimeter Digital beserta bagian-bagian pentingnya.Bagian-bagian Multimeter (Multitester)

Cara Menggunakan Multimeter untuk Mengukur Tegangan, Arus listrik dan Resistansi

Berikut ini cara menggunakan Multimeter untuk mengukur beberapa fungsi dasar Multimeter seperti Volt Meter (mengukur tegangan), Ampere Meter (mengukur Arus listrik) dan Ohm Meter (mengukur Resistansi atau Hambatan)

1. Cara Mengukur Tegangan DC (DC Voltage)

  1. Atur Posisi Saklar Selektor ke DCV
  2. Pilihlah skala sesuai dengan perkiraan tegangan yang akan diukur. Jika ingin mengukur 6 Volt, putar saklar selector ke 12 Volt (khusus Analog Multimeter)
    **Jika tidak mengetahui tingginya tegangan yang diukur, maka disarankan untuk memilih skala tegangan yang lebih tinggi untuk menghindari terjadi kerusakan pada multimeter.
  3. Hubungkan probe ke terminal tegangan yang akan diukur. Probe Merah pada terminal Positif (+) dan Probe Hitam ke terminal Negatif (-). Hati-hati agar jangan sampai terbalik.
  4. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter.
Cara mengukur Tegangan DC

2. Cara Mengukur Tegangan AC (AC Voltage)

  1. Atur Posisi Saklar Selektor ke ACV
  2. Pilih skala sesuai dengan perkiraan tegangan yang akan diukur. Jika ingin mengukur 220 Volt, putar saklar selector ke 300 Volt (khusus Analog Multimeter)
    **Jika tidak mengetahui tingginya tegangan yang diukur, maka disarankan untuk memilih skala tegangan yang tertinggi untuk menghindari terjadi kerusakan pada multimeter.
  3. Hubungkan probe ke terminal tegangan yang akan diukur. Untuk Tegangan AC, tidak ada polaritas Negatif (-) dan Positif (+)
  4. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter.
Cara Mengukur Tegangan AC

 3. Cara Mengukur Arus Listrik (Ampere)

  1. Atur Posisi Saklar Selektor ke DCA
  2. Pilih skala sesuai dengan perkiraan arus yang akan diukur. Jika Arus yang akan diukur adalah 100mA maka putarlah saklar selector ke 300mA (0.3A). Jika Arus yang diukur melebihi skala yang dipilih, maka sekering (fuse) dalam Multimeter akan putus. Kita harus menggantinya sebelum kita dapat memakainya lagi.
  3. Putuskan Jalur catu daya (power supply) yang terhubung ke beban,
  4. Kemudian hubungkan probe Multimeter ke terminal Jalur yang kita putuskan tersebut. Probe Merah ke Output Tegangan Positif (+) dan Probe Hitam ke Input Tegangan (+) Beban ataupun Rangkaian yang akan kita ukur. Untuk lebih jelas, silakan lihat gambar berikut ini.
  5. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter
Cara Mengukur Arus Listrik (Ampere)

4. Cara Mengukur Resistor (Ohm)

  1. Atur Posisi Saklar Selektor ke Ohm (Ω)
  2. Pilih skala sesuai dengan perkiraan Ohm yang akan diukur. Biasanya diawali ke tanda “X” yang artinya adalah “Kali”. (khusus Multimeter Analog)
  3. Hubungkan probe ke komponen Resistor, tidak ada polaritas, jadi boleh terbalik.
  4. Baca hasil pengukuran di Display Multimeter. (Khusus untuk Analog Multimeter, diperlukan pengalian dengan setting di langkah ke-2)Cara Mengukur Resistor (OHM)

Cara Menghitung Konstanta Waktu Rangkaian RC (Resistor Capasitor)

Cara Menghitung Konstanta Waktu Rangkaian RC (Resistor Capasitor) – Hampir setiap rangkaian Elektronika maupun Listrik mengalami masalah “Penundaan Waktu (Time Delay)” antara INPUT dan OUTPUT. Penundaan Waktu tersebut biasanya dikenal dengan istilah “Konstanta Waktu Rangkaian”. Dalam bahasa Inggris Konstanta Waktu disebut dengan “Time Constant”. Konstanta Waktu Rangkaian ini pada umumnya dipengaruhi oleh Komponen Reaktif seperti Kapasitor yang terhubung didalamnya. Satuan pengukuran Konstanta Waktu pada rangkaian Elektronika ataupun listrik adalah “Tau” atau simbol “τ”.
Banyak juga Rangkaian Elektronika yang menggunakan Konstanta Waktu ini untuk memberikan penundaan waktu ataupun perenggangan waktu pada sinyal tertentu. Salah satu Rangkaian Konstanta Waktu yang paling sering ditemui adalah Konstanta Waktu yang menggunakan Kapasitor dan Resistor atau sering disebut dengan Rangkaian RC (Resistor Capacitor). Seperti yang telah kita ketahui bahwa Kapasitor adalah Komponen yang menyimpan muatan listrik sehingga memerlukan Waktu dalam penyimpanan dan pembuangan muatan listrik.
Pada prinsipnya, Suatu Rangkaian RC yang diberikan Tegangan DC membutuhkan waktu untuk mengisi muatan listrik pada Kapasitor hingga penuh. Demikian juga saat Tegangan DC tersebut dilepas, Kapasitor yang bersangkutan juga membutuhkan waktu tertentu untuk mengosongkan isi muatan listriknya. Dengan prinsip yang sederhana ini, proses penundaan waktu (delay time) dapat dilakukan oleh sebuah Rangkaian RC.

Rangkaian RC

Cara Menghitung Konstanta Waktu Rangkaian RCBila nilai Resistansi ( R ) kecil, maka arus akan lebih mudah mengalir sehingga proses pengisian muatan listrik pada Kapasitor pun akan semakin cepat. Sebaliknya, semakin besar nilai Resistansinya, semakin lambat waktu pengisiannya.

Cara Menghitung Konstanta Waktu Rangkaian RC (Resistor Capasitor)

Berdasarkan Prinsip yang disebutkan diatas, maka secara Matematis Konstanta Waktu sebuah Rangkaian RC dapat dirumuskan sebagai berikut :

τ = R x C

dimana :
τ = Konstanta Waktu dalam satuan detik (s)
R = Resistansi / Hambatan dalam Ohm  (Ω)
C = Kapasitansi dalam Farad (F)

Contoh Kasus :

Dari Rangkaian RC diatas, diketahui nilai Resistansi R adalah 2.000 Ohm dan nilai Kapasitansi C adalah 1µF. Berapakah Waktu Konstantanya ?
Diketahui :
R = 2000 Ohm
C = 1µF
τ = ?
Jawaban :
τ = R x C
τ = 2000 x 0,000001
τ = 0,002 detik
Jadi Konstanta Waktu pada Rangkaian RC tersebut adalaah 0,002 detik atau 2 milidetik.
Catatan : Satuan Kapasitansi dalam perhitungan ini harus menggunakan satuan Farad, namun di contoh kasus ini adalah micro Farad (µF) sehingga kita harus konversikan micro Farad ke Farad terlebih dahulu.
Konversi MicroFarad (µF) ke Farad
0,1µF = 0,0000001F
1µF    = 0,000001F
10µF  = 0,00001F